Selasa, 16 Desember 2014

Ini Jawaban Lalat Buah Pintar Membedakan Rasa

Bila kamu melihat lalat buah, mereka bisa membedakan buah yang manis dan tidak. Walau dalam satu pohon sekelompok buah matang bersamaan, ada yang lebih digemari dan tidak. Karenanya, petani sering membungkus buah agar tak diganggu hama.

Kehebatan serangga menentukan sumber makanan terbaik menjadi pertanyaan sejak lama. Kuncinya ada pada reseptor. Setiap jenis serangga memiliki reseptor perasa - protein baru - yang bisa merasakan adanya bahan kimia pada sumber makanan. Tak hanya membuat pilihan penting terkait makanan, tetapi juga pasangan, atau lokasi menempatkan telur-telur mereka.
Meskipun reseptor serangga sudah ditemukan lebih dari satu dekade lalu, bagaimana mereka mengenali bahan kimia yang beragam tetap menjadi teka-teki dan tantangan yang belum terjawab - sampai sekarang. Karena itulah, para peneliti di University of California mencari tahu lebih jauh fungsi reseptor tersebut. Lalat buah dipilih karena "Rasa manis berfungsi sebagai indikator dari nilai gizi, dan lalat, seperti banyak hewan lain, suka dengan yang manis-manis," ujar Anupama Dahanukar, asisten profesor entomologi yang memimpin proyek penelitian.

Lalat buah memiliki delapan reseptor perasa manis, dan apa yang dilakukan masing-masingnya secara khusus belumlah jelas. Hal yang mengejutkan disini, para peneliti menemukan bahwa masing-masing dari delapan reseptor itu dianugerahi kepekaan terhadap satu atau lebih substansi manis.

Analisis sistematis mereka menunjukkan bahwa reseptor dapat dipisahkan menjadi dua kelompok yang didasarkan pada senyawa mana yang mereka deteksi dan seberapa erat kaitannya mereka secara berurutan.
"Setiap reseptor berkemungkinan memberikan kontribusi langsung dan independen bagi spektrum respons keseluruhan pada neuron-neuron rasa manis, yang bisa memiliki beberapa implikasi penting dalam mengembangkan strategi untuk memblokir reseptor ini," kata Dahanukar.

Tim risetnya menggunakan penciuman neuron Drosophila sebagai inang untuk memperlihatkan reseptor perasa. Neuron ini unik karena, meskipun hal ini terkait dengan bau, itu memperlihatkan anggota dari famli reseptor perasa.

"Kami mengungkap reseptor perasa manis, satu demi satu, dalam neuron ini, dan kami menemukan bahwa neuron inang, yang biasanya tidak merespon gula, sekarang mampu diaktifkan oleh substansi manis," kata Dahanukar.

"Orang akan berharap bahwa pertukaran reseptor perasa antara neuron-neuron perasa yang berbeda akan terdengar strategis, tetapi mereka telah mencobanya dan gagal," kata Erica Gene Freeman, seorang mahasiswa pascasarjana bioteknologi yang bekerja di lab Dahanukar dan penulis pertama dari makalah penelitian ini.
Next target: nyamuk
Keberhasilan Dahanukar dan tim mempelajari reseptor pada lalat buah, membawa kemajuan utntuk mengetahui bagaimana hal ini juga berlaku pada nyamuk. Seperti ditulis dalam Proceedings of the National Academy of Sciences, yakni mengungkap fungsi reseptor rasa pada serangga yang menularkan penyakit (misalnya, nyamuk) atau merusak tanaman (misalnya, kumbang dan kumbang penggerek).

Meskipun perbedaan evolusi antara nyamuk dan lalat, reseptor perasa nyamuk itu secara fungsional seperti neuron lalat yang tidak ada faktor nyamuk lainnya.

"Ini memberi kita dorongan untuk menyelidiki reseptor perasa dari serangga lainnya seperti nyamuk yang menularkan penyakit, serta hama yang memakan tanaman," kata Dahanukar. "Salah satu tujuan penting adalah untuk melihat apakah kita dapat menggunakan sistem ini untuk menemukan senyawa yang dapat memodifikasi perilaku makan serangga berbahaya dengan cara yang lebih tepat sasaran."

Ilmuwan Sukses Terjemahkan Bahasa Tubuh Simpanse

Peneliti University of St Andrews, Skotlandia telah berhasil menerjemahkan bahasa gestur atau isyarat tubuh simpanse. Bahasan gestur itu digunakan spesies tersebut untuk berkomunikasi dengan simpanse lainnya.
Peneliti mengatakan simpanse liar berkomunikasi 19 pesan khusus satu sama lain dengan kosakata dari 66 gerakan.

Ilmuwan menemukan kosakata itu usai merekam komunitas simpanse di Uganda dan memeriksa lebih dari 5 ribu komunikasi bermakna itu.

Pemimpin studi, Dr. Catherine Hobaiter mengatakan, temuan bahasa pada simpanse itu merupakan satu-satunya bentuk komunikasi yang sengaja dicatat dalam hewan.

Hobaiter menyebutkan hanya manusia dan simpanse, yang mempunyai sistem komunikasi kepada lainnya. "Itulah mengapa gestur simpanse sangat menakjubkan. Itu satu-satunya yang terlihat seperti bahasa manusia," jelas Dr. Catherine Hobaiter.

Disebutkan, meski dalam penelitian sebelumnya telah menunjukkan kera dan monyet dapat memahami informasi kompleks dari panggilan hewan lain, tapi kedua kewan itu tidak memunculkan suara mereka untuk mengomunikasikan pesan.

Sementara itu, simpanse bahkan bisa menanggapi dalam bentuk respons suara dan gestur.

Peneliti mengatakan, simpanse secara konsisten menggunakan beberapa gerakan gestur untuk menyampaikan satu makna.
Misalnya, peneliti menemukan gerakan gigitan pada daun berarti simpanse ingin menarik perhatian seksual lainnya untuk kawin atau bercumbu.

Gerakan lain yang direkam dalam salah satu klip memperlihatkan saat seorang induk betina menunjukkan telapak kakinya kepada keturunannya, itu menandakan, "panjat ke punggung".

Dan, nyatanya setelah menunjukkan telapak kaki itu, anak simpanse melompat ke punggung sang induk dan bepergian bersama-sama.

"Pesan utama dari riset ini adalah ada spesies lain di luar sana yang memiliki komunikasi bermakna, jadi bukan hanya manusia saja," jelas Hobaiter.



Evolusi Bahasa Manusia

Ia juga menambahkan, mengingat simpanse lebih erat dengan manusia dibanding kera besar, maka tak mengherankan antara manusia dan simpanse ada banyak kemiripan dalam berbagai hal.

Inisiatif studi bahasan gerakan simpanse itu dipuji Dr. Susanne Shultz, pakar biologi evolusi University of Manchester, Inggris.

Menurut dia, studi itu bisa mengisi kesenjangan pengetahuan terkait evolusi bahasan manusia. Namun, Shultz menyayangkan hasil studi itu yang dianggap "sedikit mengecewakan".

Ia berbeda pendapat soal gerakan tubuh simpanse. Menurutnya, masih banyak ketidakjelasan dari gestur simpanse.
"Ketidakjelasan arti gerakan tubuh itu menunjukkan simpanse memiliki sedikit (gestur) untuk berkomunikasi, artinya kita masih kehilangan banyak informasi yang terdapat pada gestur dan tindakan mereka," jelas Shultz.


Wow, Ditemukan Siput Laut Pertama yang dapat Melepas dan Menumbuhkan Kelaminnya

Goniobranchus reticulatus atau awalnya dikenal dengan nama Chromodoris reticulata adalah moluska gastropoda laut dalam famili Chromodorididae.

Nudibranch atau siput laut berwarna indah ini dapat ditemukan di Pasifik, perairan Indonesia hingga Filipina. Species yang dapat mencapai panjang 100 mm ini, adalah hewan Hermafrodit yang berarti tiap-tiap mereka memiliki dua kelamin, pria dan wanita sekaligus.
Yang lebih unik lagi, mereka memiliki kemampuan untuk melepaskan dan menumbuh-ulangkan penis mereka. Bagaimana bisa mereka melakukannya?

Kedua organ reproduksi mereka semuanya berada di sisi kanan tubuh mereka, jadi jika mereka berdua bertemu dengan posisi berlawanan, masing-masing dapat memasukkan penis nya ke dalam organ wanita kawannya.

Dengan begitu, mereka saling memberikan sperma satu sama lain. Setelah kawin, penis mereka pun lepas. Namun, tumbuh kembali hanya dalam 24 jam! Penis yang baru langsung berfungsi penuh dan memungkinkan nudibranch ini untuk kawin lagi sebanyak tiga kali dalam tiga hari sebelum kelelahan.
(a,b) Dua siput saling memasukkan penis mereka ke dalam vagina pasangannya.

(c,d) Autotomized penes setelah kawin, ujung penis bengkak.

Massa sperma (sp) melekat pada penis yang berduri di (d).


Siput laut bukan satu-satunya hewan yang diketahui kehilangan organ reproduksi laki-laki mereka setelah kawin, tetapi adalah hewan pertama yang diketahui dapat menumbuhkan kembali penis nya. Lebah madu Drone juga kehilangan penis mereka saat kawin tetapi mereka kemudian dibiarkan mati.




Tubuh Dapat Hidup dalam Waktu Lama Walaupun Otak Telah Mati

Peneliti bedah saraf Amerika Serikat berpendapat bahwa orang dengan kondisi otak mati, berpotensi tetap hidup dalam jangka lama, meski berisiko berkembang tak sempurna, atau penuh risiko.

Melansir LiveScience, Diana Greene Chandos, asisten profesor bedah saraf dan neurologi Ohio State University Wexner Medical Center tersebut, menyampaikan hal itu menyusul kasus gadis usia 13 tahun dari Oakland California, AS, Jahi McMath yang dinyatakan mati otak oleh tim dokter yang merawatnya sebulan lalu.



 
Namun, hingga kini McMath masih tetap dipertahankan hidupnya dengan bantuan teknologi, dengan dukungan ventilator.

Sebelumnya, terkait pasien dengan otak mati yang dapat dipertahankan hidupnya, pernah menjadi pembahasan pada 1950-an di Prancis, dengan enam pasien yang terus hidup selama dua hingga 26 hari tanpa aliran darah ke otak.

Tetapi, untuk kasus McMath, hakim setempat telah memerintahkan untuk mematikan mesin bantuan pada pekan depan.

Hukum AS dan banyak negara lain mengatakan, seseorang secara hukum dinyatakan meninggal jika secara permanen telah mati otak, kehilangan seluruh pernapasan dan fungsi peredaran darah. Dalam kasus McMath, tiga dokter yang merawatnya menyimpulkan gadis itu telah mati otak.

Greene Chandos mengatakan sistem intrinsik jantung masih menjaga organ denyut untuk waktu singkat setelah seseorang mengalami mati otak.

Ia menambahkan, tanpa bantuan ventilator, denyut akan berhenti dengan sangat cepat, biasanya tak kurang dari satu jam. Sementara itu, dengan dukungan ventilator ini, proses biologi ginjal, fungsi lambung dapat berjalan selama satu pekan. 
Kenneth Goodman, direktur program Bioetika Universitas Miami mengatakan bahwa fungsi tersebut tak berarti orang masih hidup.

"Jika mati otak, Anda mati. Tapi, dengan bantuan teknologi, kita bisa membuat tubuh melakukan beberapa hal yang harus dilakukan ketika Anda masih hidup," kata Goodman.

Keberadaan otak sangat vital. Tanpa otak, tubuh tak mengeluarkan hormon penting yang dibutuhkan untuk proses biologis, misalnya lambung, ginjal, dan fungsi kekebalan tubuh.

Greene Chandos menegaskan, tekanan darah normal juga tergantung pada kehidupan otak. Orang dengan otak yang mati biasanya tak akan bertahan dalam waktu lama. Pemasangan ventilator hanya menunda kematian.

"Jika semua kriteria kematian otak terpenuhi, cukup jelas tak ada lagi yang tersisa," ujar Greene-Chandos.

Meski menilai orang dengan otak mati kecil kemungkinan bertahan hidup, Greene-Chandos juga punya pendapat yang membangunkan harapan pasien. Dengan bantuan teknologi terkini, adanya ventilator, tambahan tekanan darah dan hormon, ia meyakini, secara teori tubuh orang dengan otak mati dapat bertahan dalam waktu yang lama, bahkan tanpa batas waktu.

Namun, ia menekankan bahwa ketahanan orang dengan mati otak itu tergolong sulit, mengingat jaringan tubuh berisiko terkena infeksi. Dia mengaku akan memindahkan McMath ke fasilitas lain untuk mendapatkan dukungan hidup dalam jangka panjang.


sains Ilmuwan Temukan Cara Untuk Membangkitkan Orang Mati

Para ilmuwan memiliki gagasan tentang cara untuk menyadarkan seseorang yang sudah dinyatakan meninggal. Gagasan tersebut dibahas dalam pertemuan New York Academy of Science, menghadirkan Dr Sam Parnia dari State University of New York di Stony Brook, Stephan Meyer dari Columbia University, dan Lance Becker dari University of Pennsylvania.
Dalam pertemuan itu dibahas bahwa kunci penyadaran kembali atau resusitasi pada orang yang baru saja meninggal itu ialah proses hipotermia atau pendinginan tubuh dan pengurangan suplai oksigen.

Gagasan ilmuwan didasarkan pada pandangan baru tentang kematian. Sebelumnya, kematian didefinisikan sebagai saat di mana jantung sudah berhenti berdetak dan paru-paru berhenti bekerja sehingga individu tidak bernapas.

Dalam pandangan baru, kematian tidak dianggap sebagai peristiwa yang terjadi secara serentak di semua bagian tubuh, tetapi sebagai proses bertahap. Saat detak jantung dan napas individu terhenti, sel individu sebenarnya masih hidup.

Kematian total, kiranya bisa dikatakan demikian, baru terjadi ketika sel-sel otak kekurangan oksigen, akibat terhentinya jantung dan napas, sehingga rusak dan mengirim sinyal bagi sel-sel lain menjelang saat kematian.
Dalam gagasan ilmuwan, ada jeda antara henti jantung dan napas dengan kematian total. Jeda itu yang kemudian dimanfaatkan untuk melakukan tindakan sehingga orang yang sebelumnya dinyatakan telah mati bisa sadar kembali.

Proses tersebut harus dilakukan secara hati-hati. Salah satu perhatiannya, upaya menyadarkan orang yang telah meninggal harus tidak mengakibatkan kerusakan otak akibat jantung yang berhenti menyuplai oksigen.

Diberitakan Huffington Post, kunci penyadaran kembali tanpa merusak jaringan otak salah satunya adalah hipotermia, yakni tubuh didinginkan beberapa derajat lebih rendah daripada suhu normalnya 37 derajat celsius.

Berdasarkan studi, hipotermia bisa mencegah kerusakan sel otak dengan menurunkan permintaan oksigennya. Namun, ini tetap ada batasannya. Ada momen ketika kerusakan memang sudah terlalu besar sehingga tak bisa dikembalikan.

Kemudian, setelah prosedur hipotermia dan jantung bekerja, kunci lainnya adalah menjaga suplai oksigen. Suplai oksigen yang tiba-tiba besar justru akan berdampak negatif karena akan merusak jaringan otak.
Hipotermia terbukti membantu prosedur resusitasi. Namun, bahkan di Amerika Serikat, tak semua rumah sakit menerapkan prosedur hipotermia. Hal ini menjadi keterbatasan untuk mengupayakan resusitasi yang berhasil.

Tentang suplai oksigen, Parnia menuturkan, suplai harus diatur dengan mesin agar jumlah oksigen yang dialirkan sesuai yang dibutuhkan.

Penyadaran kembali orang yang telah meninggal ini menimbulkan pertanyaan etis. Pasalnya, upaya menyadarkan kembali orang yang telah berjam-jam mengalami henti jantung berisiko pada kerusakan otak. Siapa yang kemudian bertanggung jawab melakukan proses resusitasi lebih komprehensif?

Mayer mengungkapkan, keterbatasan saat ini adalah pengetahuan tentang kerusakan otak. Ilmuwan belum mengetahui seberapa lama kerusakan bertahan dan apakah bisa dikembalikan ke kondisi semula.

Mayer mengungkapkan, masih perlu pembelajaran lebih lanjut. Namun, ia mengatakan bahwa ilmuwan juga tak bisa begitu saja mengatakan bahwa kerusakan otak tak bisa dikembalikan.

Sementara, Becker menuturkan, upaya penyadaran tidak selalu bisa dilakukan di setiap kasus. Namun, sekali dokter memutuskan, dokter harus menerapkan semua metode yang mungkin bisa dilakukan.

Ilmuwan Berhasil Menciptakan Darah Buatan dari Ekstrak Cacing Laut

Ilmuwan berhasil mengkreasikan darah buatan dari bahan garam mineral, air, dan protein hemerythrin yang diekstrak dari cacing laut.

Radu Silaghi-Dumitrescu dari Babes-Bolyai University di Cluj-Napoca berharap bahwa darah buatan itu bisa mencukupi permintaan darah dan mencegah penularan penyakit lewat transfusi.
Silaghi-Dumitrescu yang menciptakan darah buatan itu bahkan berangan-angan bahwa di masa depan mungkin akan ada produk darah instan. Darah instan itu layaknya kopi instan atau minuman kemasan sachet, bisa digunakan setelah dicampur dengan air.

Upaya Silaghi-Dumitrescu adalah suatu keberhasilan. Selama ini, usaha mengkreasi darah buatan selalu gagal karena senyawa yang dipakai tak tahan tekanan fisik dan kimia.

Silaghi-Dumitrescu memakai hemerythrin dari cacing laut karena dipandang lebih tahan tekanan daripada hemoglobin. Hemoglobin adalah protein darah yang berfungsi mengikat oksigen, membantu transfer oksigen ke setiap sel tubuh.
Darah buatan Silaghi-Dumitrescu telah diujicobakan pada mencit, dan hewan percobaan tak mengalami efek samping. "Mencit yang diuji coba dengan darah buatan 'Made in Cuj' tidak mengalami efek samping, dan ini yang kita inginkan," katanya seperti dikutip Softpedia.

Darah buatan ini diharapkan bisa menggantikan fungsi darah asli pada manusia selama beberapa jam atau mungkin sehari penuh.

Dalam jangka waktu tersebut, tubuh seseorang yang kehilangan banyak darah bisa menghasilkan darah yang cukup untuk menggantikannya lagi. Dalam satu hingga dua tahun ke depan, darah buatan ini akan diujicobakan pada manusia.

Ternyata Otak Bersihkan Penyakit Saat Pemiliknya Tidur

Sebuah riset di AS menunjukkan bahwa saat mahluk hidup sedang tidur, otaknya justru bekerja membersihkan bibit-bibit penyakit yang ada di dalam tubuh.

Kesimpulan penelitian ini diperoleh ketika ilmuwan dari University of Rochester Medical Center, New York AS mendeteksi pembersihan penyakit pada otak tikus yang tidur. Ternyata otak tikus yang tidur lebih baik dalam memerangi penyakit daripada saat terjaga.
Dilansir USA Today, peneliti memasukkan suatu zat yang terbentuk dari penyakit Alzheimer, dan terbukti tikus yang tidur mampu menghapus penyakit itu lebih cepat.

Tim peneliti juga memperhatikan, sel otak cenderung menyusut selama tidur untuk mendukung penghapusan jenis penyakit. Pasalnya, kondisi itu memperlebar ruang antara sel-sel yang memungkinkan penyakit dengan mudah dibuang melewati ruang sel.

Nah, meski uji coba dilakukan pada otak tikus, peneliti utama Dr Maiken Nedergaard mengatakan, metode ini pun dapat berlaku pada otak manusia. Nantinya, jika terbukti berhasil pada manusia, ini akan membuka babak baru dalam dunia pengobatan manusia yang menderita penyakit Alzheimer dan penyakit sejenisnya.

Temuan ini pun mendapat respons positif oleh ilmuwan lain. "Sangat mungkin jika tidur bisa memperlambat kerusakan yang lebih lanjut," jelas Dr Clete Kushida, direktur medis Stanford Sleep Medicine Center melalui surel.

Penelitian juga menyimpulkan orang yang tak mendapatkan waktu istirahat cukup akan mengalami kesulitan belajar, membuat keputusan, dan lamban dalam bereaksi.

Penelitian itu didanai National Institute of Neurological Disorders and Stroke. Dalam sebuah pernyataan, Direktur Program lembaga itu, Jim Koenig mengatakan, penemuan itu dapat menjadi pendekatan baru untuk mengobati berbagai penyakit otak.